Asal Usul Desa Pagerejo
Desa Pagerejo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah merupakan desa yang dibentuk dan ditinggalkan oleh pengikut Diponegoro. Setiap desa memiliki sejarahnya masing-masing. Namun, untuk Desa Pagerejo, Kecamatan Kertek merupakan desa yang dibentuk dan ditinggalkan oleh pengikut Diponegoro. Mereka menyatukan enam dusun dengan membentuk satu desa bernama Pagerejo.
Kala itu, pada awal mula ditangkapnya Pangeran Diponegoro, di Kraton Yogyakarta, sebagian pengikut Diponegoro terpencar. Mereka mencari tempat yang aman untuk persembunyian. Kyai Jogo Negoro, Sunan Puger, Bondan Gejawah,Tulung Agung, Niti Yudho,Yudo Negoro,dan pengikut lainya bersembunyi di Gunung Sindoro selama kurun waktu tiga tahun. Namun, sebagian mereka juga terpencar untuk mencari persembunyian, agar tidak bisa dicari oleh Belanda.
Pada saat bersembunyi di Lereng Sindoro, Kyai Jogo Suro kesulitan untuk mencar air yang hendka digunakan untuk sholat shubuh. Beliau sudah mencari berbagai sudut ternyata tak ada setetes pun air yang di jumpai. “Pada akhirnya beliau hanya pasrah memohon pada Allah supaya di berikan kemudahan untuk menemukan air. Dengan izin Allah yang Maha kuasa di berikan mukjizat / kekuatan beliau menancapkan tongkat rotan nya ke tanah lalu muncullah air mengalir begitu jernih yang sampai saat ini masih juga mengalir dan dimanfaatkan untuk kebutuahan masyarakat sekitar sehari-hari dan diberi nama “Suro Dilogo”,” kata Udi Wahayu S.E, Kepala Desa Pagerejo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo.
Setelah tongkat Kyai Jogo ditancapkan. Kemudian lama kelamaan tongkat itu pun tumbuh lebat sampai menjadi hutan rotan di bawah gunung sindoro itu sendiri. Ketika Kyai Jogo Suro turun kebawah bersama rombongan maka diberilah nama sebuah dusun “Dusun Pagerotan’’. Nama Pagerotan di ambil dari kisah sebatang rotan yang menjadi hutan.
Mengingat peperangan masih terjadi, maka mengatur siasat bepencar dengan menyuruh pengikutnya untuk berpencar ke lain dusun (ke bagian barat).Tumenggung Niti Yudo (mbaurekso dusun Gemawang) yang berada di dusun Gemawang dan dulunya juga belum punya nama, karena pada saat beliau memimpin perang di gemawang masyarakat nya enggan ikut perang dan hanya melihat maka dari itu beliau memberi nama dusun tersebut Dusun ’’ Gemawang’’ ada pun memiliki arti nama tersebut dari bahasa jawa yaitu GEMA - suka WANG - nyawang (senenge mung nyawang).
Untuk keterkaitan nya nama Dusun Pagersampang dalam cerita karena pada saat perang dusun tersebut di jadikan sebagai benteng pertahanan dan menurut sejarah karena pada saat itu yang sering terjadi nya saat tempur berada di kawasan Dusun Tempuran (bawah dusun pagersampang). maka dari itu di kasih nama Dusun “Tempuran’’.
Sekelompok penduduk pun marah-marah selalu mengeluh dan selalu protes. Karena tempatnya hanya di jadikan ajang persidangan untuk perdamaian dalam setiap kali pertempuran. dan itu terjadi tidak hanya satu kali bahkan beberapa kali. Maka jaman dulu mengatakankalau orang marah atau mengeluh itu dalam logat local di bahasakan “Orang Cengkring’’ maka tidak heran kalau sekelompok penduduk tersebut di jadikan Dusun Cangkringan.
Pada saat itu beliau Kiyai Jogo Suro bersama rombongan nya yaitu Tumenggung Nitiyudo, Sunan Puger, Bondan Gejawah melihat masyarakat sekitar sangat memprihatinkan kondisinya tidak hanya minimnya penduduk kata dulu juga mengibarat kan dengan kata ‘’mung sak kepel ’’hanya sekepal tangan di antara dusun-dusun lain melainkan paling miskin juga dari dusun yang lain. Sehingga nama itu pun di abadikan juga sebagainama’’ Dusun Dempel’’ sampai sekarang (bawah dusun Pagersampang).
Adalah RA. Ranu Pawira (1922) merupakan keturunan Kyai Jogo Suro (pengikut Diponegoro) yang mencentuskan nama desa Pagerrejo. Dicetuskannya, desa Pagerejo, karena ingin menyatukan enam kampung yang sudah ditinggalkan oleh pengikut Diponegoro. Sebab, kondisi tahun 1922 sudah mulai aman dari peperangan.